Rantai Kekerasan Perempuan di Makassar


Namanya Kristianti. Berusia 15 tahun. Tubuhnya yang sedikit kurus, terbungkus paduan tanktop hitam dan rok mini biru. Cahaya lampu memperjelas warna kulitnya yang agak putih. Rambut sebahunya lepas terurai, nyaris menutupi mulut mungilnya yang tak henti mengunyah cemilan kacang telur. Sesekali, ia menyeruput minuman ringan dari botol yang dipegangnya di tangan kanannya.

Seperti anak-anak lain seusianya, sikap kekanak-kanakan Kristianti seringkali muncul. Ia terkadang memain-mainkan jarinya di lubang hidung kawannya, untuk bermaksud mengganggunya. Atau saling kejar-kejaran, jika salah seorang kawannya merebut cemilannya.

Namun ada yang membedakan. Jika anak-anak lainnya pada pukul 8 malam, sudah sibuk berkutat dengan PR dari sekolah yang akan dikumpulkan esok hari, Kristianti justru sibuk mengumbar senyum dan tatapan kepada setiap lelaki. Ia duduk berjejer bersama puluhan wanita Pekerja Seks Komersil (PSK) lainnya di Makassar Pub, sebuah tempat karaoke di Jalan Nusantara. Usianya yang belia menjadikannya sebagai PSK termuda di tempat itu.

Gadis asal Pulau Jawa itu belum sebulan bekerja di pub itu. Menurutnya, kepada setiap pelanggan ia selalu mengaku dirinya berusia 18 tahun. Bernama asli Fitri dan pernah bersekolah di SMU Muhammadiyah 2 Surabaya yang ditamatkannya pada tahun 2005. Dan, seperti pengakuan-pengakuan klise PSK lainnya di Jalan Nusantara, profesi itu terpaksa dijalaninya karena butuh pekerjaan untuk membantu keluarga.

Di akhir November, saya sempat bertemu Kristianti. Saya harus menyisihkan kurang lebih Rp90 ribu untuk bayaran kencan selama satu jam bersamanya. Kencan kami, tentu saja tidak di depan umum. Tapi di sebuah kamar yang telah disediakan oleh pengelola Makassar Pub. Dari situlah kemudian saya tahu, selain usianya yang ternyata masih sangat muda, ia adalah salah satu korban human traficking. Ia mengisahkan, awal mulanya ia mengira akan dipekerjakan di sebuah restauran di Makassar, namun dugaannya ternyata meleset. “Saya sama sekali tidak tahu kalau kalau akan dipekerjakan di tempat ginian,” keluhnya.

Lain Kristianti, lain Sandra. Wanita PSK berusia 28 tahun ini justru sangat mengetahui pekerjaan apa yang akan dilakoninya. Ia salah satu PSK yang dipekerjakan di Bar dan Karaoke Nusa Dua. Tempat ini, juga salah satu tempat porstitusi yang berjejer di sepanjang Jalan Nusantara. Pengakuannya, saat masih tinggal di Kota Solo, Jawa Tengah dulu, ia sempat membuka salon kecantikan atas biaya suaminya. Namun karena percerian, ia akhirnya jatuh miskin dan harus menghidupi seorang anak perempuannya. Karena terdesak tuntutan ekonomi, Sandra akhirnya memilih untuk menjadi seorang PSK.

Di Nusa Dua, ia telah bekerja kurang lebih 7 tahun. Sebelumnya, wanita ini sempat menjajal arena-arena prostitusi di Pulau Kalimantan. Kepindahannya ke Makassar, karena menurutnya kawasan prostitusi di Makassar lebih ramai pengunjungnya. “Di Kalimantan bayarannya lebih mahal, tapi sepi. Saya lebih betah di sini,” ungkapnya.

Sebagai salah satu “penghuni lama” di Nusa Dua, Sandra relatif lebih banyak mendapatkan keistimewaan dari pemilik Bar tersebut. Oleh Mami-nya, ia selalu di percaya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan, dimana bar tempatnya bekerja di undang. Seperti, acara-acara sosialisasi cara menjaga kesehatan yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK kota Makassar. Acara pelatihan keterampilan. Bahkan, wanita ini seringkali diutus untuk mengikuti seminar-seminar bertema sosial dan kesehatan yang diadakan oleh lembaga-lembaga tertentu.

Kepercayaan itu memang bukan tanpa alasan. Menurut pengakuannya, selain karena Mami menilai loyalitasnya cukup baik, ia memiliki kredibilitas sebagai PSK yang “bersih” dan disukai banyak pelanggan karena sikapnya yang sangat sopan. “Saya memang enggak terlalu cantik. Tapi, banyak pelanggan yang suka, karena saya baik sama mereka,” ujarnya dengan logat Jawa yang sudah tidak terlalu kental lagi. Untuk menambah nilai plusnya di mata Mami dan pelanggan, Sandara mengaku berusaha terus meningkatkan wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya dengan banyak membaca dan mengikuti berita di televisi.

Lebih sepuluh tahun bekerja sebagai PSK, rupanya menumbuhkan titik jenuh. Sandra berniat, suatu saat akan meninggalkan pekerjaan ini. Ia bercita-cita akan kembali mendirikan usaha salon, seperti yang pernah dilakukannya dulu. Untuk itu, ia sangat rajin menabung hasil jerih payahnya. Tidak gampang bagi Sandra untuk membuang uang dengan membeli berbungkus-bungkus rokok atau pun berbotol-botol minuman. Terlebih membeli barang-barang haram, seperti pil koplo yang sering dikonsumsi PSK-PSK lainnya. Karena itulah, ia di cap “bersih” oleh sebagian pelanggannya.

***

Kota Bandung terkenal dengan lokalisasi Saritem-nya, Surabaya dengan Gang Dolly, dan kawasan Tanjung di Ambon. Di Makassar, jika berbicara tentang kawasan esek-esek, setiap orang pasti menyebut kawasan Jalan Nusantara.

Tidak ada data pasti kapan tepatnya bisnis THM berkembang di kawasan ini. Yang jelas, sampai saat ini ratusan PSK telah beroperasi di THM-THM yang jumlahnya mencapai puluhan. Setiap hari, THM Nusantara beropaerasi dari pukul 20.00 hingga pukul 2 dinihari.

Tempat hiburan itu berjejer di sepanjang Jalan Nusantara yang panjangnya mencapai satu kilometer. Riuhnya bisnis hiburan di kawasan ini, karena letaknya yang tepat berada di pelabuhan penumpang Soekarno Hatta dan pelabuhan bongkar muat barang. Kawasan Jalan Nusantara, juga tidak jauh dari Pantai Losari dan Pusat Jajanan Laguna. Kedua tempat ini, adalah salah satu pusat keramaian di Kota Makassar.

Sangat sedikit yang tahu, bahwa Jalan Nusantara itu, sebenarnya bukanlah lokalisasi resmi. Praktek prostitusi yang telah mengakar bertahun-tahun di tempat itu ilegal, alias terselubung. Puluhan THM yang berderet di sepanjang Jalan Nusantara itu, hanya mengantongi izin operasi karaoke, bar and pub, serta pijat. Pemerintah kota Makassar, tak pernah sekalipun mengeluarkan izin resmi lokalisasi di tempat itu. Karena itulah bisnis prostitusi Jalan Nusantara dijalankan dengan ‘diam-diam.’ Di sinilah letak keanehannya, karena kawasan ini seringkali menjadi obyek penggerebekan aparat, tapi sampai saat ini tidak ada tindakan terhadap THM yang melanggar izin operasi tersebut.

Bisnis yang tertutup namun diketahui banyak orang ini, menjadi lahan yang menggiurkan untuk mencari keuntungan. Banyak pihak memanfaatkan situasi tersebut. Sejumlah oknum aparat, oknum staf pemerintahan, bahkan oknum wartawan, membekingi tempat-tempat itu. Kompensasinya macam-macam. Ada yang diberi upeti secara berkala, bebas dan gratis menggunakan fasilitas bar –termasuk mengencani wanita-wanita PSKnya, sampai sedikit terlibat dalam manajemen pengelolaan.

Sejumlah oknum mahasiwa dan organisasi-organisasi sosial juga ikut bermain di dalamnya. Bermodalkan jas almamater, dan proposal, mereka sering meminta sumbangan untuk kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di tempat itu. Pemilik bar yang tak ingin terganggu bisnisnya oleh mahasiswa di Makassar yang terkenal suka demo dan tawuran, tentu saja memenuhi keinginan mereka. Di saat saya masih aktif dalam dunia kemahasiswaan dulu, aksi ini terkenal dengan nama “Mencari Sumbangan Cara Yahudi.” Tapi yang namanya, THM, tidak pernah memberikan sumbangan besar, paling banter Rp 100 ribuan.

Tugas beking tidaklah mudah. Beking Nusantara wajib melindungi keamanan dan kelacaran bisnis prostitusi itu. Mereka harus setiap saat bisa mengamankan lokasi dari kekacauan yang dibuat oleh pengunjung mabuk. Mengurus penebusan wanita PSK di kantor-kantor polisi, yang tertangkap tangan melakukan aksinya saat penggerebekan aparat. Dan, berusaha mengetahui jadwal penggerebekan dan membocorkannya kepada pemilik THM. Terkadang beberapa menit sebelum penggerebekan dilakukan, pengelola bar sudah mengatahuinya. Kalau sudah begitu, mereka segera memperingatkan para PSK dan serta merta PSK tersebut langsung berbaur dengan pengunjung. Mereka berpura-pura melayani pengunjung yang sedang karaoke.

***

Setiap tempat, memiliki bintang. Setiap THM di Jalan Nusantara, selalu mempromosikan 2-3 orang wanita PSKnya sebagai penglaris. Rata-rata setiap THM memiliki 30 hingga 50 orang wanita penghibur. PSK-PSK ‘unggulan’ ini, dalam promosinya, biasanya memiliki kelebihan dibanding wanita lainnya. Entah itu karena wajahnya yang cantik, bentuk tubuhnya yang bagus atau pelayanannya yang memuaskan. Namun dari sekian bentuk komunikasi mereka, kalimat ‘stok baru’-lah yang paling manjur mendatangkan pengunjung.

Fenomena inilah yang membuat kawasan Nusantara dipenuhi dengan korban-korban human traficking, atau perdagangan manusia. Banyak diantara mereka, adalah orang-orang yang berasal dari keluarga tidak mampu di luar Pulau Sulawesi. Mereka tidak berdaya untuk merikan diri, karena diawasi ketat oleh para bodyguard THM. Selain itu, pada saat proses kedatangannya, mereka ditebus dengan bayaran mahal oleh pemilik THM atau agen-agen penyalur. Mau tidak mau mereka harus membayar tebusan itu dari hasil jerih payahnya. Selama nilai tebusan belum lunas, mereka tidak boleh berhenti bekerja, dan tetap terikat utang dengan pemilik THM.

Kristina misalnya. Sebagai pendatang baru, ia menjadi incaran para pelanggan. Dalam semalam, Kristina, yang masih belia itu, harus melayani 5 hingga 9 tamu. Sekali melayani, Kristina diberi bayaran Rp20-30 ribu rupiah, dari total pembayaran yang harus dibayarkan tamu untuk kencan sebesar Rp90 ribu. Sisanya, diserahkan kepada pemilik bar untuk pembayaran sewa kamar dan ongkos pemeriksaan kesehatan setiap minggunya.

Meski begitu, ada juga THM yang tidak menanggung biaya pemeriksaan kesehatan PSK-nya. Kata lainnya, PSK itu sendiri yang harus merogoh kocek untuk memeriksakan dirinya di tenaga-tenaga medis yang ditunjuk perusahaan. Pemeriksaan kesehatan ini dianggap lumayan relatif mahal. Selain obat-obatan dan uji darah, mereka juga terkadang harus diberi suntikan untuk mencegah dan mengobati penyakit kelamin yang mereka derita. Namun banyak juga PSK yang malas memeriksakan kesehatannya. Mereka baru memeriksakan kesehatannya, jika melihat langsung gejala penyakit yang dideritanya. Sehingga penyakit-penyakit yang gejalanya tidak kentara, seperti HIV/AIDS, kemungkinan besar tidak terdeteksi.

Bagi yang kuat menabung seperti Sandra, bisa meraup penghasilan bersih rata-rata Rp5-7 juta per bulan. Apalagi Sandra memilih tinggal gratis di bagian lantai atas pub. Sebaliknya, mereka yang kurang bisa mengontrol pengeluaran, bisa menghabiskan uangnya untuk alat-alat make up, membayar utang rokok dan minuman serta membayar kos-kosan, bagi yang memilih tinggal di luar pub. Selain pengeluaran itu, mereka juga banyak menghabiskan uang untuk mengkonsumsi narkoba. Jenis yang paling sering digunakan adalah shabu-shabu dan pil koplo.

Pil koplo ini punya cerita sendiri. Para wanita PSK Nusantara sering menggunakannya, saat mereka akan bersiap-siap pulang atau selesai bekerja pada pukul 2 malam. Tujuannya mengurangi rasa malu, ketika melewati pengunjung yang masih memilih tinggal duduk, dan belum berniat meninggalkan tempat itu. Bukan apa-apa, cahaya lampu ruangan yang tadinya remang dan diatur sedemikian rupa supaya mereka kelihatan cantik, kini berubah benderang. Wajah asli mereka pun terlihat, tanpa riasan make up.

Maraknya penggunaan narkoba ini, tidak ditampik oleh para PSK. Mereka juga seringkali mengkonsumsi jenis narkoba lainnya seperti shabu-shabu dan daun ganja. Namun, sangat sedikit dari mereka mengkonsumsi jenis putaw. Selain mahal, mereka juga tahu efeknya yang luar biasa merusak tubuh. Lalu lintas peredaran narkoba di kalangan PSK ini teratur dengan rapi.

***

Saya pernah mendengar, lokalisasi resmi akan buka di Pulau Kahyangan, suatu pulau kecil yang berjarak kurang lebih 3 mil dari kota Makassar. Bahkan rencananya, selain lokalisasi, juga akan dibuka pusat-pusat perjudian. Bisnis-bisnis itu memang menggiurkan dan memiliki potensi untuk memberikan kontribusi besar bagi pendapatan daerah. Namun, pasca terjadinya terjadinya bencana Tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, banyak pihak memikirkan ulang rencana tersebut. Entah apa kaitannya. Terlebih tuntutan pemberlakuan Perda Syariah Islam di Makassar semakin kencang tiupannya. Jadilah, warga kota Makassar gamang memilih: membiarkan Jalan Nusantara dengan selubungnya, atau buka-bukaan di Pulau Kahyangan, namun dengan kompensasi dampak sosial yang luar biasa. [www.panyingkul.com]

~ by thalibanspirit on 04/12/2007.

7 Responses to “Rantai Kekerasan Perempuan di Makassar”

  1. mas akbar, masih punya data tentang transaksi jl. sungai saddang?

  2. Laporan yang bagus, masih ada lagi nggak

  3. To Agus,
    Oh iya, saya sudah kirim ke email kamu.

    Bang Asep, terima kasih komentarnya. Kemungkinan beberapa pekan ke depan saya baru meng-update reportase-reportase yang pernah saya lakukan.

    Terima kasih,

    Akbar

  4. Thanks

  5. hmm.. punya g nomer telpon ce itu dan kawan2x? bls di emil gw ya.. plssss….

  6. good bang…. itu tulisan terbaik dan terberani yang pernah saya baca. luar biasa. sy tau oknum aparat menjadikannya lahan bisnis yang subur seperti memetik daun ganja dari pohonnya.

  7. super skali ‘ bagus & terstruktur,,,
    salam sukses buat penulis

Leave a reply to akbar Cancel reply