Cucur Keringat di Balik Pundi Pelayan Resto


kayawan-resto.jpg 

Senyum itu bisa jadi adalah senyum paling rekah milik Pramitha Sari. Karena pagi itu, pada bulan Juni 2006, ia mendapat sebuah kabar baik: lamaran kerjanya diterima. Tak terkira girang hati gadis 23 tahun ini. Keinginannya untuk kembali bekerja akhirnya terkabulkan. Sebelumnya, ia harus melalui masa-masa sulit karena menganggur. Berita gembira itu disampaikan oleh seorang manajer restoran dari balik ponsel ibu kos-nya.

Tubuh Mitha sedikit gemetar ketika mendengar penjelasan sang manajer. Katanya, ia dapat langsung bekerja pekan depan. Sebagai ketentuan awal, ia diwajibkan menggunakan pakaian berwarna hitam putih. Pakaian itu digunakan sementara saja sambil menunggu seragam yang akan dibuatkan pihak perusahaan.

Mungkin karena masih terkejut, ia membayangkan seolah manajer restoran itu berbicara tepat di hadapannya. Kepala Mitha menganguk-angguk ketika menerima telepon itu. Sikapnya sangat hormat. Sesekali ia meng-iye’-kan perkataan sang manajer. Percakapan satu arah itu berlangsung cukup singkat. Saking singkatnya, Mitha tidak sempat menanyakan satu hal: kapan tanda tangan kontrak kerja?

***

Tiga bulan sudah, Mitha larut dalam pekerjaan. Ia sangat menikmatinya. Seragam yang dijanjikan perusahaan pun telah dikenakan. Pengalaman kerjanya sebagai kasir dan greeter selama tiga tahun, di dua restoran cepat-saji di Mal Ratu Indah dan Mal Diamond Panakukang, ternyata banyak berguna.

Mitha tak banyak mengalami kesulitan di restoran bertaraf internasional, di bilangan Jalan Datuk Museng, Makassar, itu. Ia cepat beradaptasi dan menguasai bidang kerjanya sebagai kasir. Di restoran baru itu, ia melengkapi tugas tiga orang kasir sebelumnya. Pengakuan Mitha, meski masih baru, manajernya bahkan memercayainya melatih teman-teman yang kerjanya yang dinilai kurang mampu.

Karena begitu semangat bekerja, tak diingatnya lagi satu hal, yakni soal penandatangan kontrak kerja. Ia juga tak perduli bahwa jumlah gaji yang diterimanya perbulan, di bawah standar Upah Minimum Provinsi [UMP] Sulsel yang sebesar Rp673.200. Bahkan lelah yang mendera, akibat bekerja lebih dari delapan jam perhari, tak diacuhkannya. “Saya sudah sangat bersyukur bisa diterima kerja di situ. Jadi, ketentuan perusahaan wajib saya jalankan,” ujarnya bernada pasrah.

Terlepas dari itu, ada hal yang sedikit miris dari pengakuannya. Bahwa, gaji awal sebesar Rp510.000 sebagai kompensasi kerja kerasnya ternyata sama sekali tak bersisa. Menurutnya, dari jumlah itu dia harus membayar sewa kamar kos sebesar Rp225.000 per bulan. Sisanya ia gunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti transportasi dan uang makan. Sehingga tak ada kelebihan untuk ditabung. Alih-alih menabung, ia mengakui, dapat memenuhi keperluannya hingga akhir bulan saja, itu sudah sangat bagus.

Namun, seperti dituturkannya, ada juga hal yang menyenangkan. Kadangkala ada saja tamu restoran yang berbaik hati. Mereka memberi tip untuk beberapa karyawan yang bertugas saat itu, setelah membayar tagihan. Jumlahnya variatif. Mitha mengaku, mendapat tip antara Rp3.000 – Rp10.000. Namun hal itu tidak selalu terjadi. “Tidak setiap hari. Makanya, tip lima ratus rupiah saja, sangat kita hargai,” papar gadis yang orang tuanya sudah bercerai ini.

Tapi belakangan, keluar peraturan baru. Setiap tip yang diterima harus dimasukkan ke dalam celengan bersama. Pengelolaannya dilakukan manajemen untuk kepentingan karyawan. Misalnya, digunakan untuk membantu karyawan yang tertimpa musibah. Atau untuk membeli kado jika ada karyawan yang menikah

. Untunglah setelah menginjak bulan kelima, ia bersama beberapa karyawan satu angkatannya, akhirnya menerima gaji Rp612.000. Naik sekitar Rp102.000 , dari gaji awal yang hanya Rp510.000. Namun, keputusan manajemen restoran ini tidak diterima oleh semua karyawan senior.

Pasalnya, gaji karyawan yang terhitung bekerja lebih dari satu tahun, tidak dinaikkan menyesuaikan kenaikan gaji karyawan muda. Atau kurang lebih berarti, gaji karyawan senior dan pemula disama-ratakan. Protes itu pun berakhir pada pemecatan sejumlah karyawan.

Persoalan nilai gaji yang dinilai terlalu rendah, memang menjadi masalah klasik di belahan dunia mana pun. Termasuk di Makassar. Pengakuan Mitha, situasi yang nyaris sama didapatinya di dua restoran tempatnya bekerja dahulu. “Itu biasa terjadi. Restoran tempat kerja saya yang dulu juga begitu. Jadi untuk apa dipusingi?” kata Mitha sambil tersenyum.

Selain gaji, Mitha menuturkan, nyaris semua karyawan mengeluhkan soal jam kerja yang terlampau padat. Ia menuturkan, dalam seminggu ia punya dua jadwal kerja. Jadwal pertama, pukul 09.00-19.00. Jadwal kedua, terbagi atas dua shift. Pukul 09.00-14.00 dan 18.00-23.00. Untuk yang kedua ini, biasanya disebut jadwal “split” atau “dua kali kerja dalam sehari”.

Sepintas, tak ada yang salah dari pembagian dua macam jadwal kerja itu. Yang ganjil adalah, sebelumnya karyawan diberitahu manajemen bahwa jam kerja standar adalah 8 jam. Bukan 10 jam, seperti jadwal tersebut. Malangnya, rata-rata pekerja resto itu bahkan harus bekerja lembur hingga 12 jam. Malah bisa lebih, kelebihan jam tersebut tidak mendapat kompensasi lembur!

Banyak sebab sehingga jam kerja itu molor begitu panjang. Antara lain karena mereka tak boleh meninggalkan pelanggan yang sedang makan. Dan, mereka harus standby satu jam sebelum jam masuk kerja. Coba bandingkan dengan pekerja sektor formal lainnya, yang hanya bekerja 8 jam dengan gaji lebih dari Rp1 juta. Sekali lagi, “Ya, namanya restoran. Memang sudah begitu. Resto itu penuh tantangan dan kejutan…,” kata Mitha.

Dan kejutan memang terus berlanjut. Suatu sore di akhir tahun 2006, sekitar lima belas wanita berparas cantik memenuhi lobi restoran. Mereka berpakaian warna hitam putih. Mitha yang baru saja akan masuk shift kedua, heran melihat keberadaan mereka. Setelah bertanya sana-sini, ia akhirnya tahu bahwa puluhan wanita itu akan direkrut. Hamdana, seorang kawan Mitha berbisik kepadanya, “Gajinya cuma 260 ribu!”

***

Mitha, dan begitu pun ratusan –bahkan ribuan– karyawan restoran di Makassar lainnya, kemungkinan besar tak mengetahui kebijakan pemerintah soal ketenagakerjaan. Alih-alih tahu, mereka lebih baik cari aman saja di dalam dera situasi sulit. Akibatnya sejumlah pemilik usaha dengan seenaknya mempekerjakan karyawan dengan aturan sendiri.

Padahal menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 77 ayat 2, waktu kerja adalah 7 jam per hari atau 40 jam per minggu untuk masa kerja 6 hari peminggu. Atau, 8 jam per hari atau 40 jam per minggu untuk masa kerja 5 hari perminggu. Sedang pasal 78 menyebutkan, maksimal lembur selama 3 jam perhari dan disertai dengan kompensasi lembur.

Mengenai upah minimum, Kepala Dinas Tenaga Kerja Makassar, Baso Bachtiar menjelaskan, Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel untuk tahun 2007 adalah sebesar Rp673.200. Menurutnya, jumlah tersebut mencakup gaji pokok dan tunjangan tetap.

***

Mitha mengukur, situasi yang dihadapinya lumayan lebih baik dibandingkan dengan karyawan dua restoran yang berada tepat di depan tempatnya bekerja. Meski tak pasti, dikabarkan restoran tersebut mempekerjakan karyawannya dengan jadwal split –3 kali masuk kerja– selama 20 jam per hari. Gajinya Rp360.000!

Mendengar itu, Mitha semakin bersyukur. Terlebih bebannya saat ini relatif rebih ringan. Ia tak lagi membiayai kuliah yang nyaris diselesaikannya. Gadis itu menghentikan studinya sepekan menjelang ujian meja. Kampus Diploma III Agroindustri, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, terpaksa ditinggalkannya karena kesulitan biaya.

Mitha menuturkan, ia sempat kuliah atas biaya sendiri. Gajinya –meski jumlahnya tak jauh beda dengan saat ini– sebagai kasir di dua restoran sebelumnya, sangat membantu memenuhi keperluan studi. Walau dia harus kerepotan mengatur waktu, karena jam kerja yang sangat panjang. “Setiap hari bisa sampai 12 jam. Sayangnya, tidak terhitung lembur. Capek sekali, untungnya sistem shift. Jadi saya bagi waktu untuk kuliah,” katanya.

Sayangnya Mitha tak menyadari, bahwa keputusannya memilih masuk kerja pada hari lebaran, daripada bersama orang kerabatnya, adalah sesuatu yang agak ganjil bagi sebagian besar orang lain. Meski, loyalitasnya itu diganjar dengan selembar uang 50 ribu rupiah!

~ by thalibanspirit on 04/11/2007.

One Response to “Cucur Keringat di Balik Pundi Pelayan Resto”

  1. kata2nya gak nyambung banget sih

Leave a comment