Salon Berjalan Mamak Fitrah


(Panyingkul!.com)

Mamak Fitrah panik. Sudah lima jam dirinya tersesat di hutan Tanete, kabupaten Pinrang. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Matahari dari langit yang mendung pekat, tak memberinya sisa cahaya untuk menemukan jalan setapak menuju perkampungan terdekat.

 

Tergopoh-gopoh ia berjalan memutari kelompok pepohonan. Matanya awas, mencoba mengingat setiap sudut. Tapi sia-sia saja, Mamak Fitrah tetap merasa asing dengan lingkungan di sekitarnya. Mulanya ia mengira masih berada di kawasan hutan Kaleo. Tapi perkiraannya ternyata salah. Perasaannya tak karuan. Ia semakin yakin, dirinya tersesat jauh ke dalam belantara pegunungan dan semakin jauh dari tujuan semula, ke kampung Kalolo.
   

Salamiah, seorang perempuan muda bertubuh bongkok, mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak henti mengomel. Ia rasa-rasanya sudah tak kuat menahan dera sakit perut yang dialaminya. Salamiah serbah salah, tak ada tempat yang menyediakan air buatnya untuk buang hajat. Salamiah tetangga Mamak Fitrah. Ia sering membantu Mamak Fitrah dan mengikutinya kemanapun pergi.
   

“Jangan mengeluh terus. Kita sudah hilang. Apa kata ibumu nanti, kalau kita tidak bisa pulang!” tegur Mamak Fitrah.
    

Karena tak tahan mendengar omelan Salamiah, Mamak Fitrah menyuruhnya buang hajat saja di bawah salah satu pohon. Namun gadis itu menolak.
   

“Saya tidak bisa kalau tidak ada air, Mamak!” ketus Salamiah.

Mamak Fitrah terdiam. Ia juga tak bisa memaksa orang yang seing membantunya itu. Keduanya lantas memutuskan melanjutkan perjalanan.

Tak berapa lama, keduanya akhirnya menemukan sebuah palung sungai. Betapa girang hati Salamiah. Warna air sungai yang mengalir pelan itu hijau kebiru-biruan. Pemandangan alam di sekitarnya sangat menawan. Dihempaskannya sebuah kardus yang sedari tadi dijunjungnya ke tanah. Ia berlari ke arah palung, mencari posisi yang baik. Mamak Fitrah membantunya menunjukkan tempat itu.
   

Betapa lega perasaan Salamiah. Tapi belum dengan Mamak Fitrah. Hutan pegunungan yang mulai gelap, makin membuatnya khawatir. Tapi keberuntungan ternyata masih berpihak ke keduanya. Setelah sekian waktu berjalan, mereka akhirnya bertemu dengan seorang penduduk kampung yang melintasi hutan.
   

Tanpa basa-basi Mamak Fitrah kemudian menanyakan jalan menuju kampung terdekat. Tak lupa ia juga bercerita tentang perihal palung sungai tempat Salamiah buang hajat itu. Penduduk kampung itu pun langsung menjelaskan arah yang harus dilalui. Sekaligus, menyatakan rasa kagetnya.
   

“Berani sekaliki’ Amma. Itu tempat yang kita beraki, sarang buaya!”
Mamak Fitrah melihat wajah Salamiah memucat. Keduanya bergidik.

***

   

Malam belum terlalu pekat. Mamak Fitrah sementara mengatur barang jualan.
Kawan saya, Indah, sibuk mengatur peralatan makan. Kedua adiknya menonton televisi. Sementara ayah Indah, Mulu, sedang membuat ketupat dari helai-helai daun Pandan yang diambilnya tadi sore di halaman rumah. Mulu seorang laki-laki paruh baya yang tak memiliki pekerjaan tetap.   

“Inimi barang jualanku, anak.”

Saya memperhatikan barang-barang jualan itu. Rata-rata di sampulnya bertulis huruf kanji Tionghoa, yang menandakan produk itu buatan China.

Malam itu, saya menemani Mamak Fitrah berbincang. Ia baru saja pulang dari berbelanja di sebuah toko di kota Pinrang. Puluhan jenis bahan kosmetik belanjaannya terhambur di lantai. Sambil mengobrol, Mamak Fitrah mengatur barang-barang itu.

Satu persatu, pewarna bibir, pewarna kuku, pewarna rambut, sabun kecantikan, bedak, pelembab dan pemutih kulit, hingga ke alat pemotong rambut dimasukkan kedalam dus berukuran sedang . Sementara berbagai merek produk parfum dan bahan-bahan terapi kecantikan lainnya,  diatur rapi kedalam tas jinjing berwarna biru. Rencananya semua barang ini akan dijual esok hari.
    

Perempuan berusia 40-an itu menjajakan dagangannya di beberapa kampung yang terletak di jejeran pegunungan di Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kampung-kampung itu terpencil letaknya, tanpa dukungan kelancaran akses transportasi. Sebut misalnya, Pangaparan, Mirring, Sappoang, Tappina, Kanan, Tanete, Lemo Susu, Karajo, Rantoni, Serang dan masih banyak kampung lainnya.

Rata-rata masyarakat di sana sangat jarang keluar dari wilayahnya untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih sekedar produk-produk kecantikan. Mereka lebih memilih menunggu orang-orang seperti Mamak Fitrah datang dan memasarkan jualannya. Ketika mengunjungi wilayah-wilayah itu, dapat dipastikan barang dagangan Mamak Fitrah laku keras. Meski harganya sudah dinaikkan dua-tiga kali lipat.

“Orang-orang gunung sebenarnya tidak mempermasalahkan harga. Mereka cuma mengeluhkan jauhnya jarak ke pasar karena memerlukan waktu tempuh yang lama.”

Bentuk pembayaran tak melulu menggunakan mata uang. Terkadang ada beberapa pelanggan yang membayar pembeliannya dengan barang-barang komoditi tani, seperti bubuk kopi, kakao ataupun dengan beras. Mamak Fitrah tak mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting nilai penukarannya sama dengan nilai nominal mata uang.

Ia juga kadang membiarkan para pelanggannya mencicil jika harga produk yang dimaksud terlampau mahal. Para konsumen itu membayar cicilan setelah menjual hasil panen mereka.    

Meski bukan kebutuhan pokok, para perempuan gunung itu biasanya protes kalau-kalau Mamak Fitrah terlambat datang menjajalkan barang dagangannya. Katanya, perawatan kecantikan mereka menjadi sia-sia kalau penggunaan produk itu putus atau tidak berkelanjutan.

“Makanya saya teratur mengunjungi mereka. Saya catat, mulai kapan penggunaannya. Sehingga bisa saya perkirakan kapan produk mereka disambung lagi. Kalau tidak begitu, mereka biasanya marah.”

Untuk memudahkan pekerjaannya, setiap hari Mamak Fitrah menyewa ojek. Sekali antar jemput, biasanya jasa ojek diganjar 40 hingga 50 ribu rupiah, tergantung jauhnya. Namun meski begitu, ojek yang digunakannya biasanya hanya mengantar hingga ke kampung-kampung yang dapat dicapai kendaraan jenis sepeda motor. Lewat dari itu, Mamak Fitrah harus berjalan kaki menyusuri setapak di lereng gunung atau membelah rimbun hutan ketika memotong jalan.

“Waktu tersesat itu, saya jalan kaki delapan kilometer tanpa berhenti.” tuturnya. 
    Dalam sehari Mamak Fitrah rata-rata mengunjungi dua hingga tiga kampung. Ia mulai melakukan pekerjaannya pada pagi hari dan selesai sore harinya. Jika pada hari itu barang jualannya langsung ludes, maka setelah magrib, ia langsung menuju kota Pinrang membeli barang untuk keesokan hari.

Sekali belanja, biasanya Mamak Fitrah menghabiskan modal rata-rata dua ratus ribu rupiah. Modal itu diperolehnya dari sebuah koperasi dengan pengembalian hasil keuntungan usaha sebesar 20 persen.         

Tak jarang Mamak Fitrah harus memutuskan bermalam di suatu kampung, jika hari sudah sangat sore dan tidak memungkinkan baginya segera pulang. 
   

Apa Mamak tidak takut bermalam di wilayah yang asing? Tanya saya, sambil membayangkan cerita-cerita seram tentang kampung-kampung yang masih kental dengan nuansa klenik. 
   

“Alhamdulillah, belum pernah saya ‘dikerjai’. Saya sebenarnya tidak yakin dengan doti-doti (mantra) seperti itu, ” ujarnya.
   

Cuma dua hal yang dikhawatirkannya jika sedang berjualan. Pertama, kesasar ke tempat asing jika mengunjungi sebuah kampung yang terletak di tengah hutan, seperti yang pernah dialaminya. Kedua, jika ia merasa dirinya sakit-sakitan, sehingga terkadang harus mengajak kenalan atau orang dekatnya untuk menemani.

“Kolesterol mamak sering kambuh. Dia takut oleng di jalan, kalau tidak ada yang temani,” ujar Indah.

***

“Mamak, yang ini palsu ya?” Tanya saya sambil menunjukkan tube sebuah produk pemutih kulit. Bukan apa-apa, tiba-tiba saja punggung tangan saya gatal dan terasa panas begitu saya mengoleskan sedikit isi produk itu.
   

Mamak Fitrah langsung tersenyum. Dijelaskannya bahwa kemungkinan kulit saya tidak cocok dengan produk itu. Ia lalu mengambil produk sejenis dari merek yang berbeda dan langsung dioleskan ke tangan saya. Anehnya saya tidak merasakan gatal dan panas seperti halnya pada produk pertama.
   

Mamak Fitrah menjamin semua produk jualannya asli. Ia sama sekali tak mau mengambil resiko menjual produk kecantikan palsu, seperti yang banyak dilakukan oknum pemilik toko-toko kosmetik. Selain menjamin keaslian, Mamak Fitrah juga menjadi semacam advisor kecantikan bagi perempuan-perempuan di kampung-kampung yang dikunjunginya.
   

“Saya sudah tahu produk apa yang cocok dengan cuma melihat dan meraba kulit mereka. Belum ada pelanggan saya yang mengeluh,” akunya.   
   

Mamak Fitrah biasanya menjual beberapa produk sejenis dari berbagai merek yang berbeda. Hal tersebut dilakukannya guna mengantisipasi jika saja ada pelanggan yang tak cocok dengan produk merek tertentu.
   

“Saya sepertinya sudah dipercaya orang-orang, sehingga mereka tidak ragu beli dagangan saya.”
   

Malam itu, saya mencoba mengangkat tas jinjing dan sebuah kardus yang sudah berisi semua jualan Mamak Fitrah. Lumayan berat. Saya tak bisa membayangkan perempuan itu sendirian berkeliling kampung, naik-turun gunung, membawa jinjingan seberat itu setiap hari. Keluarga itu tersenyum melihat aksi saya. 

***

Keluarga kecil Mamak Fitrah tinggal di kawasan Tunjung Pajalele, desa Binanga Karaeng, kecamatan Lembang, kabupaten Pinrang. Sudah puluhan tahun anak pinak itu tinggal di sana. Dan, menjual produk kecantikan adalah nyaris menjadi satu-satunya sumber penghasilan mereka selama empat tahun terakhir.

Selain berdagang alat kosmetik, Mamak Fitrah memiliki keterampilan lain, yakni, perawatan rambut. Terkadang, ketika sedang menjual dagangan di perkampungan-perkampungan, ditawarkannya juga jasanya itu. Ia menguasai beberapa teknik pemotongan, pelurusan dan pewarnaan rambut. Sangat banyak diantara pelanggannya yang meminta jasanya untuk merapikan rambut mereka, terutama yang berstatus pelajar.   
   

“Lucu juga kalau saya singgah di sebuah kampung. Mereka kumpul, persis suasana posyandu. Ramai sekali,” katanya sambil tergelak.    
   

Tak hanya menjadi pedagang kosmetik dan jasa perwatan rambut keliling, Mamak Fitrah juga membuka salon kecil di rumahnya. Namun usaha itu tidak terlalu popular untuk dikunjungi orang-orang yang membutuhkan jasa kecantikan. Karena mereka tahu, Mamak Fitrah pasti berkeliling mengunjungi mereka dan jarang berada di rumah, kecuali pada malam hari. 
   

Hasil pekerjaannya itu sepenuhnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pun, ia berhasil memberikan pendidikan formal kepada anak-anaknya.    
Mamak Fitrah memperoleh keterampilannya sejak usia 20 tahun-an. Saat itu, ia datang ke Makassar untuk mengikuti kursus kecantikan. Sekaligus bekerja di bidang yang sama, di salon Linda yang terletak di kawasan Antang, Makassar. Bermodalkan keterampilan itu, Mama Fitrah akhirnya bisa bertahan di tengah himpitan ekonomi.

~ by thalibanspirit on 09/08/2008.

Leave a comment