Nasib Malang Halte Bus di Makassar


 halte1.jpg

“Kutunggu jandamu, Ndi'”
“Saya orang rewanya Karuwisi, moko apa!”
“Cinta = cincin tangkorak”

Muhammad Agoes, mahasiswa STMIK Dipanegara Makassar, tersenyum kecil tatkala membaca kalimat-kalimat itu, di suatu Sabtu sore pertengahan Sepetember ini. Setelah menuntaskannya, ia bersama seorang kawannya, lalu berpindah tempat. Mereka mencoba mencari kalimat-kalimat lainnya. Dan, ternyata usaha itu berhasil.

“Antanija, Ana’ tena dijampangi”
“Dewi mencari Arjun DD 5432 EA”
“Balanda goblok!”

Kali ini, Agoes bersama kawannya tak mampu menahan tawa, perasaannya tergelitik. Mereka terbahak-bahak, hingga hampir menumpahkan segelas air mineral yang mereka beli sebelumnya.

Saya yang berdiri tak jauh, tertarik melihat tingkah mereka. Ketika coba lebih mendekatkan diri dan mencari sumber kelucuan itu dan kemudian ikut membacanya, saya ikut tertawa.

Kalimat-kalimat itu tertera di sejumlah halte bus di Makassar.
Keenam kalimat lucu itu, dapat kita baca di sebuah halte bus di Jalan Mesjid Raya yang terletak tepat di depan poros Jalan Pasar Terong. Di halte itu, masih banyak tulisan-tulisan lainnya. Ada yang bernuansa komedi, vulgar, bahkan bernada ancaman.

Tidak susah menemukannya. Hanya saja, tulisannya kecil-kecil, dan kabur hampir tak bisa terbaca lagi. Entah siapa yang menulisnya. Akan tetapi, kalau ditilik dari bentuk hurufnya yang tidak teratur, kita mudah saja menebak penulisnya. “Pasti anak-anak pasar, siapa lagi?” kata Agus Rahman, salah seorang pedagang stiker di tempat itu.

Selain penuh tulisan, halte itu juga dipenuhi brosur dan selebaran-selebaran. Ada brosur tempat kursus, selebaran pemberitahuan konser musik dan bahkan, brosur calon-calon dewan perwakilan rakyat, sisa masa kampanye Pemilu tahun 2004 lalu.

Lain lagi di halte bus Jalan Urip Sumihardjo. Letaknya tidak jauh dari Jalan Perkebunan Karuwisi. Halte tua itu, kini malah ditempati parkir becak. Sore itu, lima buah becak tampak parkir di situ. Tak ada seorang pun terlihat menunggu angkutan umum di tempat itu. Yang ada hanya pedagang rokok, yang warungnya tepat berada di samping halte.

Dua halte itu, menjadi gambaran, betapa fasilitas umum yang dimiliki kota kita begitu tak terpelihara. Hampir di setiap halte di kota ini, pasti ditemukan sejumlah tulisan-tulisan dan brosur yang ditempelkan secara acak. Pemandangan itu tentu saja memberi kesan jorok bagi yang melihatnya.

Lain lagi nasib halte di depan salah satu universitas di Jalan Urip Sumiharjo. Di bangkunya tertulis, ‘Hanya mahasiswa yang bisa duduk di sini,’

Dan lebih parah lagi, halte-halte tersebut tak bisa lagi difungsikan secara optimal. Karena tidak adanya perawatan berkala, halte-halte itu mengalami kerusakan di beberapa sisinya. Ada yang rusak pada bagian tempat duduk, dinding belakang yang dicopoti orang iseng, dan bagian atap yang jebol karena berkarat.

Tidak itu saja, sejumlah halte malah berfungsi sebagai kios jual-jualan makanan dan minuman. Contohnya, salah satu halte bus di kawasan Tamalanrea. Warga justru memanfaatkannya sebagai warung.

Seorang calon penumpang, Murni, pedagang di Makassar Mall, Sabtu sore lalu di halte bus Pettarani Karuwisi mengatakan, ia sebenarnya tidak merasa nyaman menunggu di tempat itu. Selain karena halte yang tampak rusak parah, sejumlah sopir yang beroperasi terkadang tidak memberhentikan bus Damri-nya, di tempat itu.

“Ya, saya di sini, hanya berlindung dari sinar matahari. Kalau busnya sudah kelihatan, saya akan berpindah dari tempat ini,” katanya. Halte bus Jalan Pettarani Karuwisi, memang hampir sama kondisinya dengan halte-halte lainnya. Rusak parah dan tampak kotor. Fasilitas itu dibiarkan mubazir dan tak terurus.

 halte5.jpg

Menurut Jaka, supir pete-pete trayek Makassar Mall – IKIP, perhatian pemerintah Kota Makassar membangun halte di sejumlah titik di jalan dalam kota, memang patut diacungi jempol. Di sepanjang Jalan Urip Sumiharjo misalnya, tercatat sembilan halte didirikan. “Jika dihitung-hitung, di sepanjang jalan protokol kota, mungkin terdapat puluhan halte bis,” katanya.

Ironisnya, sambung Jaka, halte-halte tersebut tidak berfungsi sebagaimana perencanaan pemerintah sebagai salah satu fasilitas umum. Entah, mungkin karena salah perencanaan atau tidak tertibnya sopir angkutan yang mengambil dan menurunkan penumpang. Namun para sopir juga tak sepenuhnya bisa disalahkan. Pemasangan rambu-rambu pemberhentian pada sejumlah halte tidak konsisten. “Tak ada rambu yang mewajibkan supir berhenti di halte. Kita berhenti, kalau kebetulan saja ada penumpang di situ,” katanya.

Saya pernah mendengar, rencana pemerintah kota yang akan mengadakan 1.500 bus untuk melayani seluruh calon penumpang di Kota Makassar, awal tahun 2007 nanti. Ribuan bus itu diperuntukkan mengganti fungsi angkutan kota pete-pete, yang dituding sebagai biang kemacetan kota.

Menurut saya, rencana itu sangat luar biasa. Setidak-tidaknya, badan jalan dapat lebih bernafas lega, apabila 4.500 pete-pete terganti dengan bus yang jumlahnya hanya sepertiga dari jumlah pete-pete itu. Namun dengan logika sederhana, pengadaaan bus dalam jumlah banyak tentunya membutuhkan sarana pendukung berupa halte yang bersih dan terawat, dalam jumlah yang memadai. Bukan apanya, bila halte tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bus yang berhenti sembarangan tentu akan tetap menjadi sumber kesemrawutan lalu lintas.

Nah, kita tunggu saja bagaimana antisipasi Pemkot Makassar seandainya rencana ini memang terwujud awal tahun depan.

halte6.jpg

~ by thalibanspirit on 04/02/2007.

One Response to “Nasib Malang Halte Bus di Makassar”

  1. yah… makassar the baliho city. kota sejuta baliho, minim budaya karena dah punah semua, pake bhs indo gak baik dan benar. bodoh…

Leave a comment