Tongkat Polisi Hentikan Carder Makassar


Bulan Mei, tahun 2000. Jarum jam sudah menunjuk pukul tiga pagi di sebuah warnet di Jalan Ali Malaka, Makassar. Empat sekawan itu masih melek di depan komputer masing-masing. Akib, Yemi, Rara dan Ferdy, terus melawan rasa kantuk dengan kesibukan berselancar di dunia maya. Seorang lagi, Jufri, sudah dari tadi memutuskan untuk tidur. Dia melantai.

Warung internet itu berisi tiga puluh unit komputer. Riuh pengunjungnya sudah lama berlalu. Operator dan dua pengguna internet lainnya tak mengacuhkan kawanan ini. Ruangan bercat biru itu rapat terbungkus senyap. Hanya suara-suara ketukan keyboard mengisi pendengaran.

Tak seberapa lama kemudian, Rara mengejutkan yang lain dengan teriakannya, “Yes! Yes! Yesss…!” Akib, Yemi dan Ferdy segera mendekat. Dengan tersenyum, dia menunjukkan sebuah email yang baru saja diterimanya:

Dear Mr. Watson
We have confirmed your credit card’s validity. Therefore, we agree to continue our transaction. Check your shipping schedule on US post office’s website, with shipping number 874532JK***-US.
We repeat your order:
1.Vaio, Sony, 7 units
2.PDA Clie 8 UNITS
After received this e-mail, we wish you repeating confirmation on our agreement.
Regards,
eBay Online Store

Rara segera me-reply email itu, disertai ucapan terima kasih yang terkesan basa-basi. Setelah itu, dia bergegas membayar semua tagihan internet. Jufri pun dibangunkan, lalu kawanan ini pun pergi meninggalkan warnet. Rara segera memacu mobilnya ke arah Jalan Penghibur, karena mereka hendak mencari makanan untuk sahur. Kebetulan saat itu adalah bulan puasa.

***
Yemi dan Jufri adalah kawan karib Akib sejak sekolah di SMA 5 Makassar. Mereka berpisah saat memasuki bangku kuliah pada tahun 1997. Mereka berdua masuk ke Fakultas Teknik Unhas, sementara Akib kuliah di Stikom Fajar. Meski berbeda kampus, persahabatan mereka tidak putus. Terlebih karena rumah Yemi berada tak jauh dari kampus Akib. Sepulang kuliah, Akib lebih banyak menghabiskan waktu di sana.

Perkenalan dengan Rara dimulai ketika Akib dan Yemi, mulai intens mengunjungi klub malam di Makassar, pertengahan tahun 1999. Dia adalah seorang Disc Jockey yang lumayan ternama, selain bekerja sebagai announcer di salah satu radio di Makassar. Profesinya menyebabkan lingkaran pergaulannya sangat luas. Pembawaan anak muda ini terbilang cepat akrab. Akib akhirnya berkawan dengannya. Belakangan, Ferdy bergabung. Dia seorang musisi, pembetot bass, yang jago bermain console game.

Minat mereka seragam: komputer dan internet. Saat itu, anak-anak muda Makassar sedang hangat membicarakan internet. Kurang bergengsi rasanya jika tak mencantumkan alamat email di kartu nama, misalnya. Selain chatting dan email, pelajar sekolah hingga mahasiswa Makassar, juga mulai akrab dengan internet games.

Namun saat itu, kawanan ini sudah berpikir memanfaatkan internet untuk melakukan ‘sesuatu’, yang lebih dari sekedar chatting dan games. ‘Sesuatu’ itu adalah carding; belanja barang secara online melalui internet menggunakan kartu kredit orang lain.

Akib bersama teman-teman lainnya, terinspirasi oleh apa yang dilakukan beberapa kenalan mereka di Yogyakarta dan Semarang. Aksi mereka menghasilkan uang dengan mudah. Namun yang paling menarik, Indonesia saat itu belum mengatur undang-undang kejahatan tersebut secara khusus. Para pelaku kejahatan di dunia maya seperti itu hanya dijerat pasal pencurian biasa. Seperti hukuman yang dikenakan pada pencuri ayam!

***

Akib dan teman-temannya ini rupanya memaknai keuletan dan profesionalitas secara salah. Mereka menggeluti dunia carding tidak setengah-setengah. Antara tahun 1999 dan 2000, hampir tiap malam mereka lewatkan di warnet favorit mereka di Jalan Ali Malaka, atau di salah satu warnet di depan kampus Unhas.

Mereka pun berbagi tugas. Rara sebagai pembeli di toko online, sekaligus mengecek jadwal pengiriman. Ferdy mencari dan membeli disket berisi ratusan nomor kartu kredit dari Yogyakarta. Yemi membuat jaringan dengan seorang oknum di kantor pos Makassar, dan dua kantor pengiriman internasional. Jufri membuat kartu identitas palsu. Sementara Akib, bertugas sebagai kurir.

Setiap malam, Rara bersama Ferdy, mengirimkan ratusan email ke puluhan toko online. Website yang wajib dibuka adalah eBay dan American Online (AOL). Kadangkala mereka juga menghubungi pedagang yang sifatnya personal. Bule-bule pedagang itu rata-rata menjual barang seken.

Ada satu aturan yang tak boleh mereka langgar di warnet. Yakni ketika bercakap, atau ingin mengungkapkan sesuatu, harus menggunakan saluran chat MIRC. Komunikasi langsung sama sekali haram hukumnya. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan pengguna warnet lainnya. Makanya, meski mereka berlima duduk berjajar dengan komputer masing-masing, tak akan pernah terlihat berbicara satu sama lain.

Sindikat ini tak henti “bekerja”. Sementara Rara dan Ferdy bertugas malam, Akib bersama tiga kawan lainnya bertugas siang. Nyaris setiap hari dia menyambangi kantor-kantor jasa pengiriman di Panakkukang. Tentu saja, sebelumnya Akib sudah dibekali identitas palsu yang telah dibuatkan Jufri.

Hasilnya, setidaknya tiap dua pekan sekali, mereka menerima kiriman berupa laptop canggih dan spare-part komputer yang belum diproduksi di Indonesia. Saat itu, di Makassar belum marak Personal Data Assistant (PDA), tapi mereka telah menentengnya ke mal. Bentuknya belum seperti sekarang, yang dilengkapi dengan fitur telepon selular. Yemi bahkan pernah memiliki komputer PC yang jika dirupiahkan, senilai Rp45 juta. Akib juga pernah ditertawai tetangga, karena berusaha menjual prosesor 3.0 GB, di saat pengguna komputer masih akrab dengan prosesor 2.2 dan belum mengenal prosesor 2.4 GB.

Sejumlah barang ilegal itu, tidak semuanya mereka gunakan. Sebagian digunakan untuk mempererat jaringan. Misalnya, sebagai hadiah untuk agen pemasok nomor kartu kredit di Yogyakarta dan beberapa jejaring oknum lainnya. Sebagian lagi dijual. Barang-barang itu biasanya dijual murah saja. Ambil contoh, satu unit laptop Sony Viao seharga Rp20 juta-an, dijual hanya Rp15 juta-an.

Diakui, pekerjaan ilegal itu memompa adrenalin Akib dan kawan-kawan yang masih sangat belia. Istilahnya, makin banyak tantangan makin asyik. Mereka larut dan hampir lepas kontrol. Bukan apa-apa, ratusan juta rupiah dengan mudah diraup hanya dalam sekejap. Uang hasil pencurian di dunia maya itu tidak di simpan di bank. Tapi ditumpuk di laci-laci lemari pakaian Yemi.

Ada sepotong cerita lucu sekaligus miris mengikuti kisah mereka. Uang yang ratusan juta itu, selain untuk berhura-hura, juga mereka gunakan untuk menyumbang panti asuhan. Ayam-ayam goreng di restoran cepat saji KFC Gelael, Jalan Sultan Hasanuddin, selalu mereka borong. Lalu dibagikan ke panti-panti asuhan di sepanjang Jalan Sungai Saddang. Plus, di setiap kemasan terselip selembar uang dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah begini, mereka pun menyebut diri, “Robinhood Makassar”.

Andai saja mereka tidak mencurigai seorang petugas intelijen yang sepekan penuh memata-matai rumah Yemi, mungkin kawanan ini tidak akan menghentikan aksi mereka. Meski hukumannya hanya selayak pencuri ayam biasa, rasa takut muncul juga. Mereka pun akhirnya sepakat untuk berhenti. Beratus dus kemasan barang ilegal itu dibakar di subuh hari, untuk menghilangkan jejak dan barang bukti.

Saat itu tak diketahui pasti, mengapa gerak-gerik mereka bisa tercium aparat. Namun belakangan, seorang kawan sesama carder dari kelompok lain, akhirnya memberitahu bahwa, seorang ‘carder tidak profesional’ tertangkap polisi di Jalan Slamet Riyadi. Kabarnya, warga Jalan Toddopuli itu tertangkap, karena ceroboh memesan sebuah barang aneh: satu unit tongkat polisi. Dalam interogasinya, ia menyebut nama Akib dan kawan-kawan. Niat kelompok ini untuk berhenti semakin kuat, setelah Jusuf Manggabarani menjabat sebagai Kepala Polda Sulsel. Kredibilitasnya sebagai penumpas kejahatan, membuat nyali mereka ciut.

Tapi yang lebih menguatkan keinginan mereka untuk berhenti adalah ketika seseorang dari Amerika Serikat mengirim email. Isinya pendek namun menggelisahkan:
“Mr. Hugh, please send back my money! I am just a high school teacher in Virginia. The money that you stole was my saving for my pension. Please!!”

***

Sudah enam tahun berlalu. Namun, Akib masih ingat jelas warnet yang mereka sering tempati di Jalan Ali Malaka. Letaknya di sudut, tapi kini sudah menjadi sebuah restoran. Jika melewati jalan itu, terkadang ia tergelitik, mengingat masa lalu yang buram.

Mungkin, saat ini sudah banyak generasi carder baru yang menggantikan mereka, seperti bergantinya warnet itu menjadi sebuah restoran. Mungkin mengejutkan melihat kecanggihan aksi mereka, tapi bagi Akib dan kawan-kawan, dunia mereka sudah berbeda.

Rara dan Ferdy misalnya, membentuk band yang sangat terkenal di Makassar. Mereka sudah menghasilkan album yang sangat populer. Yemi dan Jufri masuk ke dunia bisnis sebagai kontraktor. Sementara Akib, menghabiskan enam tahun terakhir belajar dunia jurnalistik.(www.panyingkul.com)

~ by thalibanspirit on 05/06/2007.

6 Responses to “Tongkat Polisi Hentikan Carder Makassar”

  1. keren uy..jadi pengen tuh..ajarin donk bang!…:)..hee

  2. woi, yang kalian maksud rara itu alias rere art2tonic bukan? Ko iya bilang salam manis dari voltak di jogja….

  3. masih hidup email mu yg juragan.cc itu lae?

  4. Masih lae, web nya juga masih aktif. 🙂
    Btw, ini siapa kah?

  5. hah dobol kuro….

  6. hahaha… ini kisah re2 dan voltak anak jogja… oldskul hacker dan carder!

Leave a reply to voltak Cancel reply